Kamis, 28 April 2011

Dongeng Akar

Untuk seribu akar yang gigih mencari air,
menembus tanah yang keras demi sebatang pohon. Ketika pohon tumbuh,
berdaun rimbun, berbunga indah,
menampilkan eloknya pada dunia dan mendapat pujian pula,
akar tidak iri, ia tetap bersembunyi dalam tanah,
itulah makna dari sebuah ketulusan dan keikhlasan.

***
Ketika drama mulai muncul, aku penasaran bukan dengan adegannya ataupun siapa aktornya, tapi dengan lukisan background dibelakangnya. Bagiku pojok utama drama adalah lingkungan pendukungnya, orang-orang dibalik layar lebih terutama lagi. Si Pembuat Background, aku selalu berfikir ia tak hanya sekedar mengetahui seluruh alur ceritanya, tetapi ia seribu langkah lebih dulu menyelusuri cerita lebih dalam, imajinasi yang tertuang dalam layar yang brgambar.

Aku merasa, si pembuat background pasti sedang tersenyum lebar melihat karyanya turut diperhatikan banyak mata, dan tidak terlalu berharap ada orang yang memuji gambarnya, karena ia begitu memahami, orang-orang datang bukan untuk sebuah background lusuh, tapi mereka membayar mahal untuk sebuah adegan drama. Ia tak menyesal, karyanya terbayar tunai, iapun mendapat kepuasan, ia mengerjakan dengan profesional yang terbalut keikhlasan, melaksanakan tanggungjawab sesuai apa yang sangat ia inginkan, singkatnya tetap menjadi diri sendiri.

Para aktor drama, tak semuanya menyukai peran yang ia mainkan, setengah hati, jumlah itu lebih banyak dari pada mereka yang menjalankannya dengan sepenuh hati. Aktor drama, mungkin juga tak semuanya suka diatur-atur, bertabrakan dengan keinginan dalam hati lebih banyak didapati diantara yang sejalur dengan keinginannya, profesional karena tuntutan peran adalah argumen kuat yang sering mereka utarakan.

***
Aku pulang dengan puas, tak ada yang sia-sia dari uang tabunganku. Ia telah membayar hari ini dengan tunai tanpa diskon. Aku pulang dengan segenggam bumi semangat.

Melodi Akar....
Pohon tetap mencintai dan membutuhkanmu, ia hanya perlu penyampai pesan untuk menemuimu.
dedaunan menucap beribu terima kasih padamu, ia hanya perlu kurir untuk mengantarnya padamu.
seribu bunga menyampaikannya salamnya pada beribu pasang mata yang menatapnya, ia hanya perlu jaringan untuk menkoneksikannya padamu.
Karena engkau bermakna, pujian terlalu murah untuk jasamu.
Keikhlasanmu adalah kunci tunai untuk SyurgaNya.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 13)

Kisah Logam

Tahukah engkau kawan....
kesatuan yang selalu bersamaan, tetapi tak saling melihat bagiannya masing-masing? Mata uang logam. Mereka tak Pernah melihat seperti apa bentuk sisi yang satu dengan yang lainnya. Mereka mengetahui mereka berbeda, tetapi mereka begitu memahami perbedaan itulah yang membuat logam itu bernilai dalam arti yang sebenarnya, mudah dikenali oleh orang yang tak pernah menyapa angka dan huruf sekalipun. Perbedaan itu memudahkan siapapun yang menggunakannya. Mereka paham, mereka tak akan pernah saling pandang, tetapi mereka adalah contoh filosofi cara pandang berbeda dalam satu tujuan utuh, memiliki nilai jual.

Sisi-sisi itu tak pernah saling membanggakan diri siapa yang paling berjasa, karena rasa penasaran dan kekaguman akan saudara seperjuangannya membuat mereka saling menjaga dan melindungi, hingga saling berbisik "apa kau baik-baik saja?" sembari dilanjut sahutan kecil menyusul mengiringi "aku selalu bersamamu, bersemangatlah."

Indah bukan, jika kita saling percaya dengan sesuatu hal yang ada bersama kita. Sahabat, keluarga, pasangan hidup...... Yang ada hanya akan saling menguatkan, saling memberi dan menerima, saling menyemangati dan saling mendoakan... dalam untai kata sederhana "aku selalu ada untukmu dan aku membutuhkanmu. Terima kasih karenamau hidupku penuh warna-warni makna."

Ingatlah kawan..... Bukanlah energi kasihan yang terpancar dari kedua sisi logam itu, tapi rasa keikhlasan memberi dan menerima, rasa merdeka dalam proklamir kepercayaan, dan senantiasa menyatu dalam keutuhan nilai.

Semoga bermanfaat........... Inspirasi kecil di sudut bintang .................. Ketika nada-nada sukar untuk bersuara dalam relung imajinasi, berilah sejenak ruang pada telinga untuk mendengar rekaman irama yang terpetik....................................... Mengoreksi dengan senyum simpul, tak menyesali jika harus mengulang. Melakukan peyempurnaan dalam jejak langkah terus-menerus. Bismillah

Jakarta, 7 Maret 2011/21:49 WIB

Rabu, 27 April 2011

Dialog Hari Tentang Kehidupan dan Cinta

Dialog Hari

Tentang

Kehidupan & Cinta

Indramayu, 23 September 2009

Senin:

“Apa yang kau takutkan dari kehidupan …

?

Selasa:

“Aku tak mau lagi tinggal di bumi,

Menelan getirnya angin prasangka,

Tersengatnya matahari duka,

Tenggelam dalam airmata prahara, tiada ujung perlayanya.

Membuatku terperangkap dalam episode airmata, tak berhenti derainya.”

Rabu:

“Aku paling takut jika aku tak mampu membuat kehidupan di sekitarku menjadi tak hidup…”

Kamis:

Ya…

Tapi aku lebih takut lagi,

Jika sang pemberi kehidupan menarik kesempatan dalam kehidupanku, untuk memeperbaiki hidup menjadi lebih hidup…

Jum’at:

… Sudah cukup kawan!!!

Terlalu lama akau menjadi penonton perbingancangan kalian.

Berhentilah bermain-main, dan jadilah pemain kehidupan. Karena dari sana kau tak sekedar merasakan asam manisnya, tapi kau pun bisa melahirkan pemainnya…

Dialog tentang Cinta

Sabtu:

… Katanya dikehidupan ada cinta, bagaimana dengan cintamu?...

Ahad:

… Aku tak akan mencintai, sebelum aku mampu mencintai hal yang paling aku benci …

Jejak hari dalam lalu lintas waktu,

Hidup ini hanya beberapa detik saja, meraskan hidup berpuluh-puluh tahun yang hanya berakhir dalam hitungan detik di episode sakaratul maut.

“Teruslah melangkah, karena kita tak akan pernah tahu, dihentakan langkah yang ke berapa, kita akan menemukan kemenangan yang kita butuhkan, lebih dari sekedar yang kita inginkan.”

Siapkan bekal perjalanan menuju kehidupan abadi

… The End …

“Kehidupan tak akan pernah berakhir, kematian hanyalah jembatan yang akan menghantarkan kita menuju kehidupan abadi”

Elegi

Mencintamu

seperti menyimpan rahasia,

kebanggaan,

ketakutan,

kekhawatiran,

penuh tantangan,

perjuangan,

terkadang mendustai nurani,

tapi tetap menjadi diriku sendiri.

“Rahasia Kebencian”

Cerpen

Nur_Bee

12 Maret 2010


“Apa yang paling kau takutkan dari kehidupan?” Tanyaku pada nuraniku, yang selalu tertekan oleh tanda tanya yang semakin membuatku rumit.

Hari-hariku semakin penuh teka-teki. Tak teraba oleh akal, tak terdeteksi oleh hati. Penuh kejutan, mengharukan, membingungkan. Membuatku menangis dan meledakkan deru tawa. “Aku sudah gila!. Suatu hari kau akan mengetahui betapa rahasianya hari-hari yang kita jalani.”

Sebenarnya, kisah ini tak ingin aku tinggalkan disini, bersama hawa kepalsuan yang diobral murah oleh mulut-mulut yang berbau dosa. Ingin kubawa kisah ini terkubur dalam tanah-tanah waktu, dilupakan, ditinggalkan tanpa jejak lalu menghilang ditelan peradaban.

Tapi perkataanmu yang tak teraba namun mencubit segumpal darah yang terbungkus rapi dalam jiwa, membuatku kerasukan benci yang selama ini hampir mati, kini bangkit kembali.

Aku semakin benci hari-hari yang ku jalani. Penuh sesak su’udzon, tak lagi percaya perkataan teman, kacau berantakan, semuanya membuatku muak. Pikiranku semakin terjepit perang antara benci dan kesadaran diri. “Kau membuatku mati seribu kali dalam tanah kebencian.”

Sebenarnya aku pun takut pada kebencian. Ia seperti virus HIV aids, terlihat baik-baik saja pada penderitanya, tapi sebenarnya Ia mengikis nyawa menuju alam baka, mati.

Lebih baik ku memilih tinggal dalam rahasia hari-hari, agar ku tak mendengar lagi segala obral orasimu yang tertutup benci menahun akan sejarah luka yang ku ukir dulu.

Biar rahasia hari menyembunyikan ku dalam remang waktunya. Sampai akhirnya aku pun akan berkata “Aku tak mau tahu lagi.”

Aku tak pernah tahu tentang hal yang ku tulis. Ku coba menghentakan rangkaian huruf yang menyesakan pikiranku. Aku mulai terserang virus memori “semrawut”, aku ingin terbebas.

Ku coba melepaskan jerat memori itu, dengan mencoba mengkhayal yang lainnya dan terus menulisnya pada kertas ini tanpa henti, dan berharap membuat imajinasiku kembali tenang. Mengkhayal makan Ice Cream coklat di padang rumput hijau, damai dan menyenangkan.

Nyatanya aku semalaman bingung, tentang memori saat kelamku. Bertengkar dengan mu berjam-jam tanpa menyapa marah, diam dalam kemelut bungkam seribu bahasa. Mengisolasi air mata dalam jeritan sanubari, “Hentikan!!! Aku tak tahan.” Tapi emosiku jauh lebih jago merayuku, “Lanjutkan saja, kau sudah relakan dirimu untuk dimarahinya lewat ungkapan-ungkapan seperti sandi, tapi telah membuat hatimu remuk, air matamu menggelinding dan menelan semua susunan impian indahmu untuk menceritakan hal yang tak pernah Ia ketahui, karena hanya hatimu yang tahu. Lanjutkan atau kau akan kalah menelan pahitnya air mata tak diperdulikan.”

Aku mulai tenang sekarang, jika kembali melihat senyummu berhambur ditiap rongga udara aku mulai menyadari. Aku melakukan tindakan bodoh dalam sekejap. Yang membuatku terperangkap dalam imajinasi kebencian. Entah mengapa aku membencimu, kau tak bersalah. Tapi aku ingin sekali melihatmu pergi, sedangkan hatiku menjerit menahanmu dalam diamku yang terabaikan oleh sikapmu. Maafkan aku.

Akupun tenggelam dalam lautan tanya yang mendahaga, “Mengapa Aku harus mencintainya.” Cinta yang sudah terjawab sebelum ku tanyakan kepadanya. Jawabannya seperti merasakan hidup berpuluh tahun yang hanya berakhir dihitungan detik dalam sakaratul maut, sakit dan membahagiakan.

Aku seperti manusia bodoh. Yang tak mampu merasakan dan mengetahui rasa ini, sebagai anugrah atau musibah. Aku ingin berteriak memecah angin, agar ia juga merasakan perihku. Mencintai sosok yang tak mungkin mencintaiku. Ingin ku pergi dari daerah ini, mengungsi di pedalaman besama orang-orang yang tak ku kenal sama sekali, aku ingin terlahir kembali. Ingin ku atur kembali hati dan ingatan ini. Membuang rasa cinta yang membuatku tersiksa dalam jejak hari-hariku. Menorehkan peta yang membuatku tersesat dalam tanya yang berkepanjangan, melelahkan. Tapi aku menyukainya, lebih dari sekedar bahagia. Apakah aku sudah gila.

Aku tak pernah menangis.

Entah mengapa hari-hariku hampa tanpa warna. Meski aku telah berusaha melukisnya dengan tawa dan suka cita, apa karena hal itu mendustai nuraniku yang sebenarnya menyimpan lara yang tak sanggup lagi aku raba. Menahan sakit, ketika ucap cintaku hanya dianggap nyanyian seorang bisu.

Aku pun menjejaki hari-hariku dengan rasa nyeri yang melilit-lilit. Tapi aku selalu merasa ada kekuatan yang membuatku semakin pasti untuk menapaki hari-hari yang kadang ku benci.

Kebencian akan peristiwa yang ku alami. Menderita dalam tawa yang ku paksakan, entah kapan akhirnya. Haruskah ku akhiri hidupku untuk mengakhiri cerita penuh luka ini?.

Kau membuatku semakin menggila, terus memanggilmu yang tak lagi memberiku suara.

Aku tak lagi menemukan naskah untuk melanjutkan rahasia ini. Rahasia tentang kebencian yang kumunculkan sendiri. Aku ingin merdeka dari rahasia bumerang ini, seperti merdekanya hatiku dalam mencintaimu.

Mencintaimu, aku seperti mencium angin. Bisa merasakan tak bisa menggenggam, tapi kau selalu hadir untuk setiap kesempatan. Selama aku merasakan cinta itu, aku tak pernah bisa untuk lari ataupun mendekat dari dirimu, kau telah menjadi bagian dari hidupku, aku tak berdusta. Karena kaulah yang paling membuatku bertahan dalam perjuangan ini.

Selama ini aku hanya bisa mengagumimu lewat hentakan jemari diatas keyboard dan tersenyum padamu dari balik banyanganku sendiri pada cermin kamarku, ku rasa itu hal terindah. Jadi izinkan aku untuk terus begitu sampai kau menemukan bidadari yang mampu menyempurnakan tulang rusukmu.

Untuk kenangan hatiku, berlarilah sejauh kau mampu. Karena jika aku yang lari ku takut kalau lariku akan mengejarmu. Menataplah kemasa depanmu sendiri, karena jika aku yang menatap, aku khawatir tatapanku akan terus terpaku pada dirimu. Hapuslah file-file kehidupan yang tergores episodeku, karena jika aku begerak kedalam file-file hidupku untuk menghapus hal itu, aku takut aku akan menghapus segalanya dan hanya episodemu yang tersisa.

Sebelum kau melakukan itu semua, berilah sedetik kesempatan padaku untuk mengungkapkan satu rahasia yang sengaja aku bangun sendiri dengan kesadaran pribadi yang tergali dari hati.

Aku sadar dalam tiap hitungan detik yang kulalui, aku bukanlah yang terpilih, aku juga tidak memilihmu, tapi hatiku yang memulai, jadi hatiku juga yang harus mengakhirinya. Hatiku memilih kebencian untuk menyelimuti rasa ini. Bantulah aku untuk meyimpan rahasia ini selamanya.

*******************************************************************************

Untuk sahabatku dalam cermin, perjuangan itu belum usai…

Menjadi Sang Pejuang adalah pilihan rahasia yang menguntungkan tanpa harus dicurigai oleh hatinya. Tetaplah melangkah dengan segala keunikan yang kau miliki tanpa beban rahasia. Kau adalah pesona dalam biasa, kau akan menemukan pangeranmu dalam langkahmu sendiri.