Rabu, 27 April 2011

Elegi

Mencintamu

seperti menyimpan rahasia,

kebanggaan,

ketakutan,

kekhawatiran,

penuh tantangan,

perjuangan,

terkadang mendustai nurani,

tapi tetap menjadi diriku sendiri.

“Rahasia Kebencian”

Cerpen

Nur_Bee

12 Maret 2010


“Apa yang paling kau takutkan dari kehidupan?” Tanyaku pada nuraniku, yang selalu tertekan oleh tanda tanya yang semakin membuatku rumit.

Hari-hariku semakin penuh teka-teki. Tak teraba oleh akal, tak terdeteksi oleh hati. Penuh kejutan, mengharukan, membingungkan. Membuatku menangis dan meledakkan deru tawa. “Aku sudah gila!. Suatu hari kau akan mengetahui betapa rahasianya hari-hari yang kita jalani.”

Sebenarnya, kisah ini tak ingin aku tinggalkan disini, bersama hawa kepalsuan yang diobral murah oleh mulut-mulut yang berbau dosa. Ingin kubawa kisah ini terkubur dalam tanah-tanah waktu, dilupakan, ditinggalkan tanpa jejak lalu menghilang ditelan peradaban.

Tapi perkataanmu yang tak teraba namun mencubit segumpal darah yang terbungkus rapi dalam jiwa, membuatku kerasukan benci yang selama ini hampir mati, kini bangkit kembali.

Aku semakin benci hari-hari yang ku jalani. Penuh sesak su’udzon, tak lagi percaya perkataan teman, kacau berantakan, semuanya membuatku muak. Pikiranku semakin terjepit perang antara benci dan kesadaran diri. “Kau membuatku mati seribu kali dalam tanah kebencian.”

Sebenarnya aku pun takut pada kebencian. Ia seperti virus HIV aids, terlihat baik-baik saja pada penderitanya, tapi sebenarnya Ia mengikis nyawa menuju alam baka, mati.

Lebih baik ku memilih tinggal dalam rahasia hari-hari, agar ku tak mendengar lagi segala obral orasimu yang tertutup benci menahun akan sejarah luka yang ku ukir dulu.

Biar rahasia hari menyembunyikan ku dalam remang waktunya. Sampai akhirnya aku pun akan berkata “Aku tak mau tahu lagi.”

Aku tak pernah tahu tentang hal yang ku tulis. Ku coba menghentakan rangkaian huruf yang menyesakan pikiranku. Aku mulai terserang virus memori “semrawut”, aku ingin terbebas.

Ku coba melepaskan jerat memori itu, dengan mencoba mengkhayal yang lainnya dan terus menulisnya pada kertas ini tanpa henti, dan berharap membuat imajinasiku kembali tenang. Mengkhayal makan Ice Cream coklat di padang rumput hijau, damai dan menyenangkan.

Nyatanya aku semalaman bingung, tentang memori saat kelamku. Bertengkar dengan mu berjam-jam tanpa menyapa marah, diam dalam kemelut bungkam seribu bahasa. Mengisolasi air mata dalam jeritan sanubari, “Hentikan!!! Aku tak tahan.” Tapi emosiku jauh lebih jago merayuku, “Lanjutkan saja, kau sudah relakan dirimu untuk dimarahinya lewat ungkapan-ungkapan seperti sandi, tapi telah membuat hatimu remuk, air matamu menggelinding dan menelan semua susunan impian indahmu untuk menceritakan hal yang tak pernah Ia ketahui, karena hanya hatimu yang tahu. Lanjutkan atau kau akan kalah menelan pahitnya air mata tak diperdulikan.”

Aku mulai tenang sekarang, jika kembali melihat senyummu berhambur ditiap rongga udara aku mulai menyadari. Aku melakukan tindakan bodoh dalam sekejap. Yang membuatku terperangkap dalam imajinasi kebencian. Entah mengapa aku membencimu, kau tak bersalah. Tapi aku ingin sekali melihatmu pergi, sedangkan hatiku menjerit menahanmu dalam diamku yang terabaikan oleh sikapmu. Maafkan aku.

Akupun tenggelam dalam lautan tanya yang mendahaga, “Mengapa Aku harus mencintainya.” Cinta yang sudah terjawab sebelum ku tanyakan kepadanya. Jawabannya seperti merasakan hidup berpuluh tahun yang hanya berakhir dihitungan detik dalam sakaratul maut, sakit dan membahagiakan.

Aku seperti manusia bodoh. Yang tak mampu merasakan dan mengetahui rasa ini, sebagai anugrah atau musibah. Aku ingin berteriak memecah angin, agar ia juga merasakan perihku. Mencintai sosok yang tak mungkin mencintaiku. Ingin ku pergi dari daerah ini, mengungsi di pedalaman besama orang-orang yang tak ku kenal sama sekali, aku ingin terlahir kembali. Ingin ku atur kembali hati dan ingatan ini. Membuang rasa cinta yang membuatku tersiksa dalam jejak hari-hariku. Menorehkan peta yang membuatku tersesat dalam tanya yang berkepanjangan, melelahkan. Tapi aku menyukainya, lebih dari sekedar bahagia. Apakah aku sudah gila.

Aku tak pernah menangis.

Entah mengapa hari-hariku hampa tanpa warna. Meski aku telah berusaha melukisnya dengan tawa dan suka cita, apa karena hal itu mendustai nuraniku yang sebenarnya menyimpan lara yang tak sanggup lagi aku raba. Menahan sakit, ketika ucap cintaku hanya dianggap nyanyian seorang bisu.

Aku pun menjejaki hari-hariku dengan rasa nyeri yang melilit-lilit. Tapi aku selalu merasa ada kekuatan yang membuatku semakin pasti untuk menapaki hari-hari yang kadang ku benci.

Kebencian akan peristiwa yang ku alami. Menderita dalam tawa yang ku paksakan, entah kapan akhirnya. Haruskah ku akhiri hidupku untuk mengakhiri cerita penuh luka ini?.

Kau membuatku semakin menggila, terus memanggilmu yang tak lagi memberiku suara.

Aku tak lagi menemukan naskah untuk melanjutkan rahasia ini. Rahasia tentang kebencian yang kumunculkan sendiri. Aku ingin merdeka dari rahasia bumerang ini, seperti merdekanya hatiku dalam mencintaimu.

Mencintaimu, aku seperti mencium angin. Bisa merasakan tak bisa menggenggam, tapi kau selalu hadir untuk setiap kesempatan. Selama aku merasakan cinta itu, aku tak pernah bisa untuk lari ataupun mendekat dari dirimu, kau telah menjadi bagian dari hidupku, aku tak berdusta. Karena kaulah yang paling membuatku bertahan dalam perjuangan ini.

Selama ini aku hanya bisa mengagumimu lewat hentakan jemari diatas keyboard dan tersenyum padamu dari balik banyanganku sendiri pada cermin kamarku, ku rasa itu hal terindah. Jadi izinkan aku untuk terus begitu sampai kau menemukan bidadari yang mampu menyempurnakan tulang rusukmu.

Untuk kenangan hatiku, berlarilah sejauh kau mampu. Karena jika aku yang lari ku takut kalau lariku akan mengejarmu. Menataplah kemasa depanmu sendiri, karena jika aku yang menatap, aku khawatir tatapanku akan terus terpaku pada dirimu. Hapuslah file-file kehidupan yang tergores episodeku, karena jika aku begerak kedalam file-file hidupku untuk menghapus hal itu, aku takut aku akan menghapus segalanya dan hanya episodemu yang tersisa.

Sebelum kau melakukan itu semua, berilah sedetik kesempatan padaku untuk mengungkapkan satu rahasia yang sengaja aku bangun sendiri dengan kesadaran pribadi yang tergali dari hati.

Aku sadar dalam tiap hitungan detik yang kulalui, aku bukanlah yang terpilih, aku juga tidak memilihmu, tapi hatiku yang memulai, jadi hatiku juga yang harus mengakhirinya. Hatiku memilih kebencian untuk menyelimuti rasa ini. Bantulah aku untuk meyimpan rahasia ini selamanya.

*******************************************************************************

Untuk sahabatku dalam cermin, perjuangan itu belum usai…

Menjadi Sang Pejuang adalah pilihan rahasia yang menguntungkan tanpa harus dicurigai oleh hatinya. Tetaplah melangkah dengan segala keunikan yang kau miliki tanpa beban rahasia. Kau adalah pesona dalam biasa, kau akan menemukan pangeranmu dalam langkahmu sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar